Selasa, 20 Maret 2012

Antara Cita-cita dan Realita

Semua wanita termasuk akhwat pasti mendambakan pasangan hidup yang terbaik bagi dirinya. Seseorang yang kelak menjadi imamnya, pasti akhwat menginginkan yang amal yauminya ok, kefahaman islamnya tidak diragukan, akhlaknya bagus, semangat iqomatuddinnya juga tidak diragukan. Disamping kriteria standart lain seperti harus bertanggung jawab, penyayang, berpenghasilan, bahkan kalo tidak malu akhwat ingin suaminya kelak punya muka menawan. Itu aku lihat dari kacamata akhwat. Tapi dari kacamata ikhwan mungkin juga begitu, inginnya akhwat yang cantik, faham dan usianya masih muda. Wah...wah...wah...Yang punya keinginan begitu sudahkah dia "berdiri di depan kaca" dan bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah wajahku menawan? Ibadah dan akhlakku ku baik? Kefahamanku ok? semangat iqomatuddinku tinggi?" Ketika jawabannya iya, maka pantaslah dia beridealis. Kalo mau yang seperti Rosululloh, sudahkah kita menjadi seperti Khadijah atau Aisyah?

Terkadang realita tak seindah cita-cita. Kita ingin yang seperti ini tapi yang datang seperti itu. Muncullah ego pribadi, kita hanya melihat setiap sisi positif dari kita dan melihat sisi negatif dari calon pasangan kita. Adanya sisi negatif dari calon pasangannya membuatnya dia ragu dan akhirnya memutuskan menghentikan proses itu. Padahal secara teori dia faham bahwa pernikahan adalah untuk saling melengkapi kekurangan. Mengambil perkataan seorang ustadz yang pakar dalam pembahasan pernikahan "Kalo yang kita cari adalah ikhwan yang sempurna, mungkin yang kita cari adalah ikhwan yang tidak akan pernah terlahir di dunia".

Sebelum memutuskan untuk menolak seorang ikhwan yang kita anggap secara kualitas di bawah kriteria kita, pikirkanlah kembali. Apakah keputusan kita itu benar? Seorang ikhwan yang sekarang ibadahnya masih kurang bagus, bekal ilmu yang kita anggap masih kurang, itu hanya sedikit dari kekurangannya, yang tidak menutup kemungkinan setelah menikah dia bisa jauh lebih baik. Dan yang menjadikannya "melejit" dalam ibadah dan iqomatuddin adalah karena peran istri yang faham yang bisa membersamai dan memotivasi suami.

Kalo kita mengambil keputusan untuk menolaknya, maka pikirkan juga bahwa ikhwan yang sebelum menikah sudah faham, ibadanya bagus, semangat berdakwahnya tinggi tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti dia juga bisa futur. Jadi janganlah melihat seorang ikhwan pada kondisi saat ini, lihatlah dia beberapa tahun yang akan datang saat dia "melejit".

Bukan berarti akhirnya kita menurunkan standart kriteria calon pasangan kita, tapi ketika yang datang adalah ikhwan sholih yang punya keinginan kuat memperbaiki diri dan semangat tinggi dalam iqomatuddin walopun masih ada kekurangan dalam dirinya, janganlah mudah mengambil keputusan untuk menolaknya. Ketika ikhwan sholeh itu kita tolak, belum tentu ikhwan yang sesuai dengan kriteria kita, dia mau menerima kita karena kita juga bukan akhwat yang sempurna. Dan belum tentu yang datang berikutnya lebih baik dari yang sebelumnya. Ya Alloh, mudahkanlah proses kami menuju penikahan yang barokah. Untuk sahabatku yang sedang dalam proses pernikahannya, semoga Alloh memudahkanmu. Untuk sahabatku yang berada dalam masa penantian, teruslah memperbaiki diri dan berdoa agar diberi yang terbaik. Aamiin...

Published with Blogger-droid v2.0.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar