Tampilkan postingan dengan label rumah tangga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rumah tangga. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Juni 2013

thnx for precious advices

ikhlas
ridlo
yakin
sabar
istiqomah
qonaah
tegar
penyemangat
gak boleh lemah
harus kuat
manajemen keuangan
prioritas
belajar prihatin
komunikasi
perhatian
dakwah
iqomatuddin
kontribusi untuk umat
infak
memaksimalkan potensi
wirausaha
menata hati
saling mengingatkan
partner
mendidik anak
kenali karakter
mencintai
saling mengenal dan tafahum
memberikan yang terbaik
terima kekurangan
#hmmm...precious advices...ridloi dan berkahi ya Robbi...bismillah...

Kamis, 13 September 2012

Akan Kau Didik Jadi Apa Anakmu, Jadi Profesional/Da'i/Hafidz(ah)???


Yach walaupun belum punya anak [belum nikah juga, haha.. gak ada yang nanya ya], gak papa donk ngebahas tentang anak. Ini berawal dari obrolan beberapa waktu yang lalu dengan seorang "super mama" [baca:ummahat]. Beliau berputra tujuh dan aku salut dengan cara beliau mendidik anak-anaknya. Anak pertama beliau tahun ajaran ini masuk SMA. Nah waktu si sulung cari sekolah, uminya justru yang lebih dag dig dug dibanding si sulung. Dari obrolan tentang sulungnya yang lagi bingung mau sekolah dimana [akhirnya sekolah di satu-satunya SMA IT di sini], akhirnya kita ngobrol tentang pendidikan anak. Orang tua harus tepat memilihkan pendidikan yang terbaik buat putra-putrinya. Tapi pilihan itu juga tidak memaksakan si anak. Anak juga kudu diberi kebebasan untuk memilih. Apa yang menjadi pilihan si anak, ketika itu memang sesuatu yang baik untuk masa depannya, maka orang tua sebaiknya mensupport. Tapi jika pilihan itu gak baik untuk masa depannya, orang tuanya seharusnya memberi arahan atau memberi alternatif pendidikan yang lain.

Mau dibawa kemana pendidikan si anak, kampus atau pondok???? Beberapa yang aku amati, orang tua [ummahat] yang backgroundnya kampus, anak-anaknya juga akan diarahkan buat kuliah, yang backgroundnya pondok, anak-anaknya juga akan diarahkan ke pondok. Masing-masing pasti ada positif dan negatifnya. Bukan berarti yang di kampus itu semuanya negatif dan yang di pondok semuanya positif, malah kadang yang lulusan kampus justru lebih militan dari lulusan pondok. Tapi ada juga yang kampus tapi gak maksimal pembinaannya, dan ada juga yang mondok pemahaman ilmu syar'i nya oke tapi jiwa harokinya juga oke. Ya saya ngomong gini gak asal ngomong, ini berdasarkan hasil interaksiku dengan anak-anak ummahat. Ada seorang anak ummahat yang sejak SMP dan SMA sudah diarahkan untuk ke pondok, tapi karena bukan kemauan si anak, akhirnya si anak keluar bahkan ada yang kabur dari pondok. Setelah keluar dari pondok dan ngelanjutin SMA aku lihat dia enjoy dengan aktivitasnya. Ada juga anak ummahat yang diarahkan ke kampus tapi dengan syarat selama kuliah kudu ngaji, pada kenyataannya dia ngajinya kurang eksis.

Belum terlambat untuk merancang mau kita arahkan kemana anak-anak kita. Lihatlah potensi dan minat mereka. Arahkan mereka untuk menjadi salah satu diantara 3 ini. Apakah akan menjadi seorang profesional [dokter, bidan, farmasist, guru, dosen, businessman, akuntan, dll]? Apakah akan menjadi seorang da'i? Apakah akan menjadi seorang hafidz/ah? Pilihan pertama akan diarahkan ke kampus. Pilihan kedua dan ketiga akan diarahkan ke pondok. Kampus atau pondok gak masalah yang penting mereka enjoy bukan terpaksa dan punya visi yang jelas ke depan mereka mau jadi apa. Yang terpenting adalah ketika di kampus, mereka harus lebih dikuatkan untuk ngaji dan dakwah sehingga kelak menjadi profesional yang paham din dan militan. Ketika di pondok, itu memang benar keinginan mereka sehingga enjoy dengan kehidupan di pondok dan tetap diasah jiwa harokinya sehingga setelah lulus ilmunya bisa bermanfaat untuk umat dan juga punya jiwa gerak. Semoga Alloh menganugrahkan kita kelak putra-putri yang sholih-sholihah, mujahid-mujahidah dan menjadi generasi yang berkontribusi bagi kejayaan Islam. Aamiin...eh, by the way...itu semua gak akan terkabul kalo belum nikah. So, doa tadi didahului dulu dengan doa yang ini, semoga Alloh mendatangkan pasangan yang terbaik [mujahid, aamiin] di saat yang terbaik pula, hehehe... aamiin...semangat yach ^_^

Senin, 21 Mei 2012

Keluarga Jangan Menjadi Penghalang

Pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua manusia tetapi dua keluarga. Itu yang sering kita dengar dan itu tidaklah salah. Karena itu bukan sesuatu yang salah sehingga aku beberapa kali mendengar kasus gagalnya proses pernikahan karena ketidakcocokan di antara dua keluarga, bukan karena ketidakcocokan kedua manusia yang akan menikah tersebut. Ada yang karena background keluarga yang berbeda, ada yang karena orang tua si laki-laki gak sreg karena si calon mantu kurang cantik, ada yang karena orang tua si perempuan kurang sreg karena si calon mantu penghasilannya dianggap belum layak untuk menghidupi anak perempuannya nanti, dan masih banyak lagi alasan lain yang menjadikan keluarga sebagai penghalang sebuah pernikahan.

Untuk orang umum, alasan seperti itu mungkin wajar. Karena mereka belum punya visi misi yang jelas dalam keluarga mereka kelak, jadi ketika ada sedikit penghalang dari keluarga ya sudah proses menuju pernikahan berhenti begitu saja tanpa ada usaha untuk menjadikan penghalang itu menjadi bukan penghalang. Tetapi ada juga mereka yang berjuang agar faktor keluarga tidak menjadi penghalang dalam pernikahan mereka. Ketika orang umum bisa melakukan hal demikian, ikhwan akhwat yang menjumpai faktor keluarga menjadi kendala dalam proses pernikahannya, seharusnya bisa melakukan hal yang lebih dari mereka yang orang umum. Mengapa seharusnya demikian? Ya karena dalam pernikahan seorang ikhwan dan akhwat, mereka memiliki visi misi ke depan dalam rumah tangganya ingin membentuk keluarga ideologis, keluarga yang ingin tetap eksis dalam dakwah dan iqomatuddin sehingga tidak seharusnya sesuatu yang tidak prinsip yang muncul saat proses pernikahannya termasuk ketidakcocokan antar keluarga menjadi penghalang proses pernikahannya. Seorang ikhwan maupun akhwat perlu banyak bertanya dan belajar dari yang lain yang lebih berpengalaman dalam urusan ini. Itulah perlunya kita dekat dengan seorang mbak, kakak atau ummahat karena dari mereka kita bisa dapat banyak pengalaman hidup termasuk dalam hal proses pernikahan maupun rumah tangga.

Beberapa hal yang bisa aku ambil dari obrolan-obrolanku dengan beberapa orang yang aku dekat dengan mereka, ternyata melobi orang tua itu perlu strategi yang cantik. Sehingga hal-hal yang tidak prinsip tidak sampai menjadikannya gagal dalam proses pernikahannya. Ikhwan dan akhwat jangan terlalu lugu menceritakan semua hal tentang calon pendamping hidupnya maupun keluarganya pada orang tua. Bukan membohongi, tetapi ceritakan yang perlu diceritakan [kok kayak uya kuya, he..], yang sekiranya ketika diceritakan justru menjadi penghalang prosesnya lebih baik tidak diceritakan. Misalnya begini, ketika tahu ibu si ikhwan itu punya idealisme calon mantunya nanti kudu putih, cantik, kutilang [kurus tinggi langsing], namun si akhwat tidak 100% seperti yang diinginkan ibunya seharusnya si ikhwan dengan gaya diplomasinya cukup menceritakan kelebihan si akhwat yang menjadikan ibunya menerima dan gak perlu kekurangannya disampaikan secara detail. Misalnya lagi begini, ketika ortu si akhwat punya standart minimal penghasilan untuk calon mantunya, namun penghasilan si ikhwan masih jauh di bawah standart ortu, gak perlu si akhwat berterus terang pada ortunya berapa gaji calon suaminya, katakan saja insyaAlloh penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pastinya dengan sebuah keyakinan bahwa Alloh itu Ar-Rozaq dan Alloh akan memudahkan rizki hambanya yang memiliki niat baik untuk berumah tangga, tapi tetep...ikhtiar juga kudu maksimal donk. Ada lagi cerita yang aku dapat dari seorang teman tentang proses seorang ikhwan dan akhwat yang background keluarganya bertolak belakang. Keluarga si ikhwan muhammadiyah banget dan keluarga si akhwat NU banget, tapi proses pernikahan berjalan dengan baik. Si akhwat gak perlu menceritakan kemuhammadiyahan keluarga si ikhwan pada ortunya dan si ikhwan gak perlu menceritakan keNUan keluarga si akhwat pada ortunya. Cukup saja katakan keluarga si ikhwan atau si akhwat adalah keluarga muslim. Bukan bohong kan? Tapi katakan saja yang perlu demi kemaslahatan.

Sebenernya itu masalah teknis saja, tetapi kadang hal seperti ini tidak begitu diperhatikan ikhwan maupun akhwat saat mereka sedang proses. Seharusnya jauh sebelum proses ikhwan dan akhwat sudah test case dulu dengan orang tua masing-masing, seperti apa mantu yang ortu mereka inginkan. Jadi, ketika sudah ada calon yang hendak dikenalkan dengan orang tua, mereka tahu mana yang perlu diceritakan dan mana yang tidak perlu. Sekali lagi, bukan membohongi ortu atau keluarga tapi hal ini untuk kemaslahatan ke depan, karena di balik pernikahan seorang ikhwan dan akhwat gak hanya sekedar menyatukan dua manusia atau dua keluarga tapi ada proyek dan amanah dakwah yang jauh lebih penting dan jangan sampai urusan teknis lobi orang tua yang kurang cantik menjadi penghalang berjalannya amanah dan proyek dakwah ke depan. Dan yang paling penting adalah selalu berdoa dan minta sama Alloh untuk diberikan yang terbaik...Ya Robb, i do hope the best from You.

Jumat, 09 Desember 2011

Keluarga Ideologis



Beberapa bulan yang lalu pernah baca sebuah artikel di sebuah majalah yang kalo gak salah judulnya Bukan Hanya Istri Biologis. Di majalah itu disampaikan bahwa menjadi istri yang bersuamikan laki-laki yang punya prinsip dalam hidupnya, tidak cukup menjadi istri biologis saja tapi jadilah istri ideologis. Prinsip dalam hidup yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang melazimi dakwah dan jihad sebagai jalan hidupnya tidak cukup hanya suami yang memahaminya. Resiko yang mesti dihadapi harus dipahami oleh istri dan anak-anak. Maka perlunya sedari awal seorang laki-laki dan wanita yang hendak membangun sebuah rumah tangga, bercita-citalah menjadikan keluarganya kelak menjadi keluarga ideologis.


Seorang istri harus memahami bahwa iqomatuddin adalah pilihan hidup dirinya dan suaminya. Sehingga tidak egois hanya mementingkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi ada kepentingan umat dan kepentingan bersama yang juga harus dipentingkan. Kesadaran tersebut tidak akan terbangun ketika tidak ada diskusi antara suami istri. Ngobrol-ngobrol atau diskusi di rumah jangan hanya ngobrol masalah ekonomi, pekerjaan, anak-anak atau masalah rumah tangga lainnya. Tapi, untuk membentuk sebuah keluarga ideologis perlu adanya diskusi-diskusi ideologis di rumah yang melibatkan suami istri dan pastinya anak-anak dilibatkan dalam diskusi tersebut sesuai dengan tingkat kefahaman mereka atau setelah mereka beranjak dewasa dan memahami konsep rumah tangga yang dimiliki oleh orang tuanya. So, persiapkan diri menjadi istri ideologis! Agar kelak dapat membangun keluarga ideologis dan dapat mencetak anak ideologis.