Jumat, 25 Februari 2011

Istiqomah di Jalan Dakwah Setelah Menikah, Bisakah?

Semasa akhwat, pembahasan tentang dakwah sudah menjadi menu harian. Begitu pula aktivitas di dunia dakwah. Yang dihadapi sehari-hari serba-serbi dan pernak-pernik dunia pembinaan akhwat yang gak ada matinya. Setiap ketemu akhwat, yang dibahas ya tentang itu. Ketika ketemu ummahat, dia juga ditanya tentang hal itu. Karena emang problematika dakwah selalu ada tanpa diminta. Aku gak akan nulis problematika tersebut di sini, tapi yang ingin aku share di sini adalah sesuatu yang pasti akan dihadapi oleh seorang akhwat aktivis dakwah, setelah dia menikah. Akankan dia bisa tetap istiqomah di jalan dakwah setelah menikah?


Yach kalo bagi seorang akhwat yang masih munfaridah dan lagi semangat-semangatnya di pembinaan akhwat, pasti dia memiliki keyakinan bahwa "nanti setelah saya menikah, saya akan tetap mengambil peran dalam dakwah". Pasti semua akhwat aktivis dakwah punya idealisme demikian, termasuk aku. Semoga Alloh senantiasa memelihara ghiroh kita dalam berdakwah dan beriqomatuddin. Saat ini, ketika aku melihat akhwat yang baru saja menikah atau ummahat yang baru beberapa tahun menikah, ada yang terlihat tidak lagi punya greget untuk dakwah atau greget dakwahnya tidak lagi seperti dulu. Semoga itu bukan karena hilangnya ghiroh tetapi hanya karena sedang menurunnya ghiroh tersebut.


Semoga itu memang karena suatu alasan syar'i. Aku sadari benar memang situasi dan kondisi akhwat dan ummahat sangat jauh berbeda. Ketika akhwat banyak waktu yang dia luangkan untuk dakwah, tetapi setelah menikah waktu banyak tersita untuk keluarga. Ketika setelah menikah dia harus tinggal di luar kota dan tidak langsung mendapat bi'ah yang baik, menjadikan dia absen sementara di dunia pembinaan. Ketika dia baru di usia awal pernikahan kemudian hamil, apalagi ketika awal kehamilan kondisi kesehatan nge drop, menjadi alasan yang syari'i untuk absen di dunia dakwah. Apalagi setelah melahirkan, dia begitu direpotkan dengan anak dan pekerjaan rumah yang gak ada habisnya. Anak satu sudah merasa repot untuk datang ta'lim apalagi untuk mengisi ta'lim. Belum lagi kalo anaknya tambah, tidak hanya satu tapi dua, tiga, empat, dst. Wah, tambah lagi dech repotnya. Kerinduan untuk kembali aktiv pasti sangat dirasakan. Waktu yang cukup lama vakum di dunia pembinaan akan menyulitkan dia nanti ketika ingin aktiv lagi. Ketika lama tidak ta'lim atau tidak ngisi ta'lim untuk kembali mengawalinya pasti butuh semangat yang sangat besar. Dan pastinya butuh motivasi dari suami dan akhwat atau ummahat lain.

Jumat, 11 Februari 2011

Mengubah Mindset Orang Tua

Beloved Parents
Tiap jum'at pagi kira-kira jam 9, aku rutin (kalo pas di rumah 'n lagi online) ndengerin kajian streaming yg khusus mbahas tentang rumah tangga dengan sejuta problematikanya. Yach walaupun belum married gak ada salahnya ikutan menyimak. Wah..wah...ternyata dalam berumah tangga ada berjuta problematika. Jadi jangan dibayangin yang indah-indah thok dalam  sebuah pernikahan. Tapi yo jangan jadi takut nikah karena takut punya sejuta masalah setelah berumah tangga.


Beneran banyak belajar dari listeners yang kasih komen maupun tanya2 ke narasumber. Ada akhwat yang curhat udah 5 kali gagal ta'aruf. Ada ibu yang cerita kalo dia dan suami bertengkar karena punya pandangan berbeda dalam pola didik anak. Ada ibu muda yang ngeluh karena gak bisa sabar pada nenek mertuanya yang udah sangat "sepuh", harus merawat nenek mertuanya padahal dia punya baby dan dia juga masih kuliah. Ada akhwat yang minta solusi karena dia sudah usia 25 tahun tapi belum ada keinginan untuk menikah. Sepertinya kalau dibukukan akan lebih banyak orang yang mengambil ibroh dari kasus-kasus tersebut.


Buat aku yang masih terus menyiapkan bekal menuju kehidupan rumah tangga, obrolan-obrolan tersebut bener-bener aku jadikan bekal. Banyak buku-buku tema pernikahan yang ada tapi gak banyak yang njelasin kasus-kasus real yang dihadapi saat berumah tangga seperti yang disampaikan oleh listeners kajian tersebut. Di rak bukuku aja ada 2 buku tebel tentang nikah karya Ust Fauzil Adhim 'n Salim A. Fillah yang udah aku pinjem entah sejak kapan tapi gak khatam2 juga (gimana mau khatam, dibaca aja enggak, he...). Ada rasa malas baca buku-buku itu karena isinya teori banget. Aku lebih suka belajar dari mendengar cerita seseorang, lewat kajian streaming ini misalnya. Atau cerita dari teman yang udah nikah. Atau cerita dari ummahat yang sangat mudah mengalir saat aku silaturahim ke rumahnya atau saat aku nemenin temen yang lagi KPN (Kuliah Pra Nikah). Nah lo...kalo untuk dapet gelar sarjana aja kita kudu kuliah mati2an, apalagi untuk urusan nikah, wajib ada kuliah juga. hehehe...

Selasa, 08 Februari 2011

ah...ah...ah...Antara Dakwah, Kuliah dan Rumah

Kalo postingan sebelumnya gak cuma 3 ah tapi ah nya sampe 5, postingan kali ini ah nya cukup 3, hemat...(iklan axis mode on), yang 2 disimpen dulu buat besok (emang permen). Yap, dakwah-kuliah-rumah. 3 peran sekaligus (sebagai aktivis dakwah, mahasiswa yang masih kuliah dan sebagai anak yang punya orang tua di rumah) yang secara bersamaan melekat pada diri seorang akhwat, tidak sedikit yang keteteran dalam menjalaninya, termasuk aku. 1 peran aja seringnya belum bisa maksimal, apalagi 3 sekaligus. Tapi itu adalah pilihan, yang sebenarnya kalo kita bisa manage diri kita dengan baik, ketiga peran yang harus dilakoni seorang akhwat tidak akan keteter, bahkan antara peran 1 dengan yang lain bisa saling mendukung.
DAKWAH
Kita tahu bahwa amanah dalam menyampaikan risalah Islam adalah amanah bagi setiap muslim. Amanah dakwah tidak saja amanah seorang syaikh, kyai atau ustadz. Seorang akhwat yang telah melazimi tholabul 'ilmi, telah berusaha mengamalkan ilmu yang dia miliki, maka dia memiliki kewajiban untuk berdakwah atau menyampaikan. Sampaikanlah walau satu ayat. Sampaikan sesuatu yang telah kita fahami dan tentunya dengan berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih.
Seorang akhwat yang telah faham kewajiban berdakwah, pasti dia akan berusaha semaksimalkan memberikan apa yang dia miliki untuk dakwah dan menegakkan Islam. Dia bersungguh-sungguh dalam dakwahnya seperti bersungguh-sungguhnya para mujahid yang berjihad fi sabilillah. 

Selasa, 01 Februari 2011

Chocolate Cheese Strawberry Sweet "Martabak"

Hhhmm...baca judulnya kok panjang bener ya...makanan apa tho sebenernya. Yak, liat aja kata yang ada di dalam tanda petik dua, M A R T A B A K (ooooo....martabak....). Tadi siang jelang sore, iseng-iseng berbekal resep yang kudapat dari hasil googling dan bermodal bahan-bahan sisaan bikin pancake kemaren, kucoba juga resep martabak manis. Pokoknya rasanya kalah deh sama martabak legit (lho...apa gak salah tuch?? bukannya harusnya pokoknya rasanya gak kalah deh sama martabak legit). Enggak, gak salah kok...martabak manis yang barusan aku bikin rasanya jauuuuhhh dibanding sama martabak legit...malah setelah mateng rasanya lebih mirip sama kue kamir (lho...kok bisa???). Maklum martabak perdana. Tapi gak ada salahnya berbagi cerita dan berbagi resep. Untuk resepnya si udah bener, cuman karena dirumah gak ada timbangan jadi cuma pake feeling aja tuh nimbangnya. Itulah yang bikin rasanya lebih mirip kue kamir. Oya, mungkin ada yang belum ngerti martabak legit, martabak legit itu merek martabak yang paling enak di purwokerto (menurutku sich...).


Nah, yang mau coba praktek bikin martabak di dapur sendiri, ini nih bahan-bahannya:
1.   Tepung terigu
2.   Telur ayam
3.   Susu kental manis rasa coklat dan vanila
4.   Margarin
5.   Keju chedar
6.   Strawberry blok
7.   Meisis
8.   Fermipan
9.   Baking powder
10. Vanili
11. Air